Pabrik Gula
Hanya Sisakan Cerobong Asap
Galur,
sekalipun disinggahi Belanda tidak sampai setengah abad, ternyata banyak
menyisakan kenangan-kenangan kehadiran bangsa kulit putih itu dalam bentuk
bangunan bergaya arsitektur Belanda. Hanya sebagian memang yang masih berdiri,
itupun sudah banyak mengalami renovasi.
Sisanya
banyak yang terlanjur dirobohkan dengan alasan pembangunan dan modernisasi.
Bagaimanapun, setiap satu penginggalan yang masih ada adalah saksi segala pahit
dan manis perjumpaan kabupaten Kulon Progo dengan Belanda di masa yang lalu.
Konon, Kulon
Progo merupakan daerah yang paling akhir yang dimasuki oleh Belanda. Hal ini
mungkin saja benar, sebagai daerah yang berada paling Barat Yogyakarta, Bumi
Menoreh ditakdirkan dengan geografis yang berbukit. Mungkin saja menjadi alasan
hingga Belanda kurang tertarik untuk menguasainya
Tak banyak
referensi yang dapat dijadikan acuan untuk membuktikan sejarah Belanda di
Kulonprogo ini, namun keberadaan Pabrik Gula Karangsewu merupakan salah satu
bukti Belanda pernah menghuni Kulon Progo dan sempat menikmati hasil bumi
Kulonprogo.
Pabrik gula,
yang berlokasi di Timur desa Karangsewu saat ini nyaris tidak bersisa. Luas
areanya pun tidak dapat di kenali secara pasti. Hanya bekas cerobong asap
pabrik gula yang berhasil di selamatkan. Lainnya tinggal fondasi pipa pabrik
gula yang masih terlihat.
“Dulunya
berbentuk tembok dengan lubang-lubang pipa yang sangat tinggi, tapi sekitar 20
tahun yang lalu sudah dirobohkan dan saat ini hanya menyisakan fondasinya saja”
tutur Kepala Desa Karangsewu Sudarsana.
Jejak
peninggalan kolonial Belanda, juga terlihat dari dari makam Belanda (Kerkhof) yang
terletak di RT 48/23 Karangsewu. Komplek pemakaman Belanda ini menyisakan
sembilan nisan. Empat nisan terlentang dan lima makam tegak. Lima nisan tegak,
sesuai karakteristiknya dapat dipastikan merupakan nisan orang Belanda.
Tertulis
pada salah satu batu nisan, Maria Arabella Junmann. Masih dapat terbaca tanggal lahirnya 20 November 1936, tapi tanggal meninggalnya tidak diketahui
karena telah rusak. Selebihnya, kondisi nisan-nisan tak bernama lainnya lebih
memprihatinkan.
“Dulunya
semua nisan itu, tertulis lengkap identitas orang yang meninggal pada papan marmer
di nisan itu, tapi kini sudah hilang, mungkin dijarah untuk dijual. Selebihnya
kerusakan karena fandalisme.” papar Suyatno (30), warga setempat.
Tapi berdasarkan
sedikitnya penghuni makam dan catatan kecil pada nisan itu dapat diketahui, dapat
diperkirakan tidak ada setengah abad pemerintah kolonial Belanda menduduki Desa
Karangsewu Kecamatan Galur Kulon Progo.
Rumah Belanda Kini Dimiliki Pribumi
Rumah Belanda Kini Dimiliki Pribumi
Peninggalan
Belanda yang mungkin sampai saat ini masih terpelihara dengan baik ada di Dusun Babrik RW 27 Karangsewu, Kulon
Progo Di sini, berjajar rapi bangunan-bangunan dari jaman Kolonial Belanda
dengan model atap limas, dilengkapi dengan pavilliun di sisi rumah. Semuanya ada
sekitar tujuh bangunan.
Dari bentuk
dan ruangan-ruangan pada bangunan, sepertinya merupakan rumah tinggal para
pejabat pemerintahan pada masa pendudukan Belanda. Setelah Belanda tidak lagi
berkuasa, bangunan-bangunan ini beralih kepemilikan dan penggunaan. Ada yang
menjadi kantor BRI, ada yang ditinggali namun ada juga yang ditinggalkan terbengkalai.
Jamal Prajojo,
55 salah seorang penghuni rumah Belanda itu mengatakan rumah tersebut merupakan
warisan turun-temurun dari keluarganya. Dulunya tujuh rumah yang berjajar itu
kesemuanya hak milik dari kakeknya, mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah,
Sunartedjo yang meninggal tahun 1996.
“Setelah
ditinggal oleh Belanda, sempat dimiliki oleh Carling-Cina. Hingga akhirnya
dibeli oleh almarhum kakek saya sekitar tahun 1950. Saat ini sebagian besar
masih dihuni oleh anak cucu beliau, tapi sebagain lagi sudah beralih
kepemilikan,” paparnya.
Ia
mengisahkan konon dulunya pernah berdiri bangunan paling besar di ujung jalan
yang dikatakan sebagai rumah Jenderal Belanda, tetapi kemudian dihancurkan oleh
warga yang anti dengan Belanda. Bangunan-bangunan yang tersisa, akunya sudah
banyak yang mengalami renovasi, terutama setelah rusak akibat gempa bumi 27
Juli 2006 silam.
Rumah Belanda
yang dihuninya, tuturnya menurut penilaian dari dinas Pariwisata propinsi masuk
dalam peringkat dua, yang masih terjaga keasliannya. Dan karena di kategorikan
sebagai benda cagar budaya, pernah dijanjikan memperoleh dana pemeliharaan.
“Tapi sampai
saat ini kami belum menerima dana untuk pemeliharaan. Sejauh ini kami hanya
menerima bantuan renovasi gempa lalu sebesar lima juta rupiah” ungkapnya.
Pemerintah
Desa Karangsewu mencatat peninggalan jaman Belanda yang masih tersisa, meliputi
Cerobong Asap Pabrik Gula, beserta rumah-rumah arsitektur Belanda yang masih
terjaga, saat ini termasuk dalam 23 situs sejarah yang dimiliki Desa Karangsewu
untuk diajukan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB).
Menurut
Sudarsana, dahulu pernah ada pendataan BCB, tapi beberapa ditolak karena
dinilai sudah tidak orisinil. Kini berbekal surat dari Dinas Pariwisata
Propinsi tanggal 13 September 2008, pihaknyamengajukan 23 situs di Karangsewu yang
dinilai layak masuk BCB.
“Nantinya, bila
masuk dalam kategori BCB akan diberikan dana bantuan sebesar lima juta rupiah
kepada pemilik untuk perawatan. Kami menghimbau pada pemilik dan penduduk
sekitar untuk tidak merubah keasliannya,” imbaunya.
Catatan
Sejarah yang Terabaikan
Kepala Seksi
Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan Kulonprogo, Singgih Hapsoro mengatakan benda
cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi ilmu
pengetahuan dan peradaban. Artinya aset sejarah ini perlu dilindungi dan
dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional.
“Inilah
salah satu isi diktum pertimbangan UU No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya. Pentingnya perlindungan dan pelestarian warisan budaya dan sejarah ini
juga menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat internasional” terangnya.
Galur
merupakan salah satu kecamatan di Kulonprogo yang memiliki banyak benda
peninggalan sejarah antara lain Pemakaman Belanda (Kerkhof) di Karangsewu, Rumah
Belanda di Karangsewu, Cerobong Asap Pabrik Gula di Karangsewu, Arca di
Karangsewu, Kijing Kyai Toyo di Gupit, dan Kincir Betonan di Siliran.
“Selama ini perhatian
pemerintah, bahkan masyarakat, masih kurang terhadap upaya perlindungan dan
pelestarian benda cagar budaya. Hingga tidak heran bila banyak benda bersejarah
banyak yang rusak, hilang atau dimiliki kolektor illegal,” keluhnya.(vim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar