Minggu, 24 Juni 2012

Kisah Bocah Pencari Undur Undur


Laut menawarkan keceriaan. Ombak menyibak, saling berkejaran ke pantai, dan menampar pasir lembut. Pecah membuahkan gelembung kecil. Angin berhembus, pucuk pohon kelapa menari-nari. Semua mampir ke hadapan mata.


Di pantai, beberapa anak kecil berlarian dan berenang dengan senangnya. Terlihat empat anak berlarian di antara gelombang datang yang menghempas ke pasir itu, tiga anak berlomba untuk berlari kelaut, sementara seorang lagi yang paling kecil menunggu, tak jauh dari bibir pantai terlihat berkosentrasi.
Sesaat menceburkan diri, tiga anak-anak itu mulai menggaruk-garuk pasir pantai. Dalam hitungan detik dua orang dari anak anak itu melemparkan sesuatu. Kearah temannya yang paling kecil dari kejauhan. Anak yang menunggu itupun dengan sigap menangkapnya dan cepat memasukkannya ke lubang kecil yang dibuatnya di pasir. 
Riuh tawa mereka lepas, pastilah tawa itu menyiratkan keceriaan, mengundang kekaguman bagi tipa orang yang melihatnya. Tawa anak-anak itu seakan menyapa para pengunjung pantai untuk ikut merasakan keceriaan pantai.
Dwi, Dedi, Rian, dan Bambang nama keempat anak itu, “Kami mencari Undur Undur laut mas!” Seru Dwi Haryanto, seraya menyodorkan tangannya, memperlihatkan hasil tangkapannya itu. Anak yang bertugas menangkap lemparan itu, menjelaskan Undur Undur laut yang didapatkan pagi itu untuk dimasak siang harinya.
“Ini enaknya, digoreng dengan bumbu Kentucky” ucap polos murid kelas 4 SD Beran Panjatan itu. Bocah itu berkata sudah sejak pukul 08.00, Ia bersama dengan teman-teman yang lain bermain di Pantai Bugel, Panjatan, Kulon Progo mengisi libur sekolahnya.
“Tadi disuruh pulang sama guru-guru karena ada upacara di Kabupaten katanya, peringatan hari guru itu lho mas!” timpal Dedi Melandani yang mengaku bersekolah di SD yang sama.    
Rian Fitriyanto, seorang anak yang lain mengatakan setiap hari minggu atau hari libur lainnya, anak-anak biasa mencari undur-undur laut di Pantai Bugel yang terhitung dekat dengan temapat tinggal mereka.
“Kalau hari minggu, biasanya pukul 05.00, sudah banyak yang datang. Anak-anak yang sudah besar juga banyak. Biasanya kami bisa mendapat seember penuh dan dibagi bagi rata, nantinya untuk lauk makan” kata siswa kelas 2 SMP Pleret Panjatan itu.
Mereka mengaku datang dengan sepeda untuk sampai ke Pantai Bugel. Kata mereka, walaupun undur-undur laut banyak dijual sebagai makanan khas pinggiran pantai, tapi hasil tangkapan mereka tidak untuk dijual.
“Undur-undur ini rasanya enak mas, malah lebih enak dari pada udang goreng” timpal anak terakhir yang bernama lengkap Bambang Suprastoyo Sapto Edi, meyakinkan.(vim)

Selasa, 19 Juni 2012

Menelusuri Jejak-jejak Belanda di Galur



Pabrik Gula Hanya Sisakan Cerobong Asap
Galur, sekalipun disinggahi Belanda tidak sampai setengah abad, ternyata banyak menyisakan kenangan-kenangan kehadiran bangsa kulit putih itu dalam bentuk bangunan bergaya arsitektur Belanda. Hanya sebagian memang yang masih berdiri, itupun sudah banyak mengalami renovasi.
Sisanya banyak yang terlanjur dirobohkan dengan alasan pembangunan dan modernisasi. Bagaimanapun, setiap satu penginggalan yang masih ada adalah saksi segala pahit dan manis perjumpaan kabupaten Kulon Progo dengan Belanda di masa yang lalu.
Konon, Kulon Progo merupakan daerah yang paling akhir yang dimasuki oleh Belanda. Hal ini mungkin saja benar, sebagai daerah yang berada paling Barat Yogyakarta, Bumi Menoreh ditakdirkan dengan geografis yang berbukit. Mungkin saja menjadi alasan hingga Belanda kurang tertarik untuk menguasainya
Tak banyak referensi yang dapat dijadikan acuan untuk membuktikan sejarah Belanda di Kulonprogo ini, namun keberadaan Pabrik Gula Karangsewu merupakan salah satu bukti Belanda pernah menghuni Kulon Progo dan sempat menikmati hasil bumi Kulonprogo.
Pabrik gula, yang berlokasi di Timur desa Karangsewu saat ini nyaris tidak bersisa. Luas areanya pun tidak dapat di kenali secara pasti. Hanya bekas cerobong asap pabrik gula yang berhasil di selamatkan. Lainnya tinggal fondasi pipa pabrik gula yang masih terlihat.
“Dulunya berbentuk tembok dengan lubang-lubang pipa yang sangat tinggi, tapi sekitar 20 tahun yang lalu sudah dirobohkan dan saat ini hanya menyisakan fondasinya saja” tutur Kepala Desa Karangsewu Sudarsana.
Jejak peninggalan kolonial Belanda, juga terlihat dari dari makam Belanda (Kerkhof) yang terletak di RT 48/23 Karangsewu. Komplek pemakaman Belanda ini menyisakan sembilan nisan. Empat nisan terlentang dan lima makam tegak. Lima nisan tegak, sesuai karakteristiknya dapat dipastikan merupakan nisan orang Belanda.
Tertulis pada salah satu batu nisan, Maria Arabella Junmann. Masih dapat terbaca tanggal lahirnya 20 November 1936, tapi tanggal meninggalnya tidak diketahui karena telah rusak. Selebihnya, kondisi nisan-nisan tak bernama lainnya lebih memprihatinkan.
“Dulunya semua nisan itu, tertulis lengkap identitas orang yang meninggal pada papan marmer di nisan itu, tapi kini sudah hilang, mungkin dijarah untuk dijual. Selebihnya kerusakan karena fandalisme.” papar Suyatno (30), warga setempat.
Tapi berdasarkan sedikitnya penghuni makam dan catatan kecil pada nisan itu dapat diketahui, dapat diperkirakan tidak ada setengah abad pemerintah kolonial Belanda menduduki Desa Karangsewu Kecamatan Galur Kulon Progo.  





Rumah Belanda Kini Dimiliki Pribumi
Peninggalan Belanda yang mungkin sampai saat ini masih terpelihara dengan baik  ada di Dusun Babrik RW 27 Karangsewu, Kulon Progo Di sini, berjajar rapi bangunan-bangunan dari jaman Kolonial Belanda dengan model atap limas, dilengkapi dengan pavilliun di sisi rumah. Semuanya ada sekitar tujuh bangunan.
Dari bentuk dan ruangan-ruangan pada bangunan, sepertinya merupakan rumah tinggal para pejabat pemerintahan pada masa pendudukan Belanda. Setelah Belanda tidak lagi berkuasa, bangunan-bangunan ini beralih kepemilikan dan penggunaan. Ada yang menjadi kantor BRI, ada yang ditinggali namun ada juga yang ditinggalkan terbengkalai.
Jamal Prajojo, 55 salah seorang penghuni rumah Belanda itu mengatakan rumah tersebut merupakan warisan turun-temurun dari keluarganya. Dulunya tujuh rumah yang berjajar itu kesemuanya hak milik dari kakeknya, mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Sunartedjo yang meninggal tahun 1996.
“Setelah ditinggal oleh Belanda, sempat dimiliki oleh Carling-Cina. Hingga akhirnya dibeli oleh almarhum kakek saya sekitar tahun 1950. Saat ini sebagian besar masih dihuni oleh anak cucu beliau, tapi sebagain lagi sudah beralih kepemilikan,” paparnya.
Ia mengisahkan konon dulunya pernah berdiri bangunan paling besar di ujung jalan yang dikatakan sebagai rumah Jenderal Belanda, tetapi kemudian dihancurkan oleh warga yang anti dengan Belanda. Bangunan-bangunan yang tersisa, akunya sudah banyak yang mengalami renovasi, terutama setelah rusak akibat gempa bumi 27 Juli 2006 silam.   
Rumah Belanda yang dihuninya, tuturnya menurut penilaian dari dinas Pariwisata propinsi masuk dalam peringkat dua, yang masih terjaga keasliannya. Dan karena di kategorikan sebagai benda cagar budaya, pernah dijanjikan memperoleh dana pemeliharaan.
“Tapi sampai saat ini kami belum menerima dana untuk pemeliharaan. Sejauh ini kami hanya menerima bantuan renovasi gempa lalu sebesar lima juta rupiah” ungkapnya.
Pemerintah Desa Karangsewu mencatat peninggalan jaman Belanda yang masih tersisa, meliputi Cerobong Asap Pabrik Gula, beserta rumah-rumah arsitektur Belanda yang masih terjaga, saat ini termasuk dalam 23 situs sejarah yang dimiliki Desa Karangsewu untuk diajukan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB).
Menurut Sudarsana, dahulu pernah ada pendataan BCB, tapi beberapa ditolak karena dinilai sudah tidak orisinil. Kini berbekal surat dari Dinas Pariwisata Propinsi tanggal 13 September 2008, pihaknyamengajukan 23 situs di Karangsewu yang dinilai layak masuk BCB.
“Nantinya, bila masuk dalam kategori BCB akan diberikan dana bantuan sebesar lima juta rupiah kepada pemilik untuk perawatan. Kami menghimbau pada pemilik dan penduduk sekitar untuk tidak merubah keasliannya,” imbaunya.


Catatan Sejarah yang Terabaikan
Kepala Seksi Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan Kulonprogo, Singgih Hapsoro mengatakan benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi ilmu pengetahuan dan peradaban. Artinya aset sejarah ini perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional.
“Inilah salah satu isi diktum pertimbangan UU No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Pentingnya perlindungan dan pelestarian warisan budaya dan sejarah ini juga menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat internasional” terangnya.
Galur merupakan salah satu kecamatan di Kulonprogo yang memiliki banyak benda peninggalan sejarah antara lain Pemakaman Belanda (Kerkhof) di Karangsewu, Rumah Belanda di Karangsewu, Cerobong Asap Pabrik Gula di Karangsewu, Arca di Karangsewu, Kijing Kyai Toyo di Gupit, dan Kincir Betonan di Siliran.
“Selama ini perhatian pemerintah, bahkan masyarakat, masih kurang terhadap upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya. Hingga tidak heran bila banyak benda bersejarah banyak yang rusak, hilang atau dimiliki kolektor illegal,” keluhnya.(vim)